.
breaking news:
Attention!
Blog Archives
Friday, February 27, 2009
Print this Article__________
By: Baiq L.S.W.Wardhani
Tibet bergolak dan komunitas internasional bereaksi. Apa sebenarnya yang terjadi di wilayah yang berpredikat “atap dunia” ini? Pelajaran menarik apa yang bisa dipetik dari tragedi di sana?
Kecaman bertubi-tubi disampaikan pada pemerintah China sehubungan dengan kebrutalan yang dilakukan oleh tentara China dalam aksinya menumpas aksi protes yang terjadi di Lhaksa, Tibet. Aksi protes itu menuntut pemberian kebebasan yang selama ini tidak dirasakan oleh rakyat Tibet. Tibet merupakan salah satu wilayah China yang menuntut pemisahan diri dari China karena Tibet ingin merdeka sebagai negara berdaulat (secessionism).
Wajah asli China
Sejak mengadopsi sistem kapitalisme pada era Deng Xiaoping, China tumbuh menjadi kekuatan dunia yang mengagumkan. China mampu menyaingi AS dan Jepang dalam hal perdagangan dunia dan investasi. Bahkan banyak pihak meramalkan China bahkan bisa mengungguli dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Dalam upaya menjadi yang terdepan tersebut, China menggunakan berbagai taktik. Salah satunya adalah dengan mengubah citra (image) dari negara “tirai bambu” menjadi negara yang ramah dan aksesibel. Perubahan citra ini membawa pengaruh besar pada keberhasilan China. Investor asing tidak lagi ragu-ragu menanamkan modalnya sehingga kegiatan produksi di dalam negeri berjalan dengan dinamis. Hasilnya adalah China yang sukses.
Apakah keberhasilan China di bidang ekonomi diikuti oleh ketentraman rakyatnya di dalam negeri? Berbagai berita sekitar kemunculan China sebagai raksasa dunia seolah-oleh menenggelamkan fakta bahwa China sebenarnya masih menyimpan wajah aslinya yang otoritarian dan cenderung represif terhadap gejolak internal. Sementara itu masyarakat internasional masih sangat sensitif terhadap berbagai kejadian yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Masih segar dalam ingatan bagaimana tentara China memadamkan aksi massa yang digerakkan oleh mahasiswa di lapangan Tiananmen. Pemerintah China mendapat kecaman pedas dari berbagai pelosok dunia karena dinilai melanggar HAM dengan menembaki para demonstran dan membunuhi dengan sadis orang-orang yang terlibat dalam tragedi Tiananmen tersebut. Keberhasilan China di bidang ekonomi belum dibarengi dengan keberhasilannya menghilangkan sikap otoriter. Maka wajah asli China yang selama ini tersembunyikan oleh keberhasilannya merambah pasaran dunia menjadi nampak kembali dengan munculnya tragedi Tibet.
Pelajaran
Tragedi Tiananmen rupanya belum memberikan cukup pelajaran bagi China untuk berlaku lebih manusiawi terhadap rakyatnya sendiri. Tragedi Lhaksa jelas membuktikan bahwa China belum jera dengan kecaman internasional. Tindakan China terhadap para demonstran yang dipelopori oleh rohaniawan di Lhaksa seolah mengulang kesalahan yang telah dilakukan oleh pemerintah Myanmar beberapa waktu lalu.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian tersebut? Pertama, salah satu ancaman paling nyata yang dihadapi China adalah pengusulan pembatalan China sebagai tuan rumah Olimpiade tahun ini, yang hendak dilaksanakan pada bulan Agustus 2008. Dalam rangka menyambut pesta olahraga sejagat tersebut, China sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Berbagai fasilitas telah dibangun dengan biaya milyaran dollar. Jika China tidak segera mengubah skapnya maka tidak menutup kemungkinan Olimpiade 2008 tidak akan meninggalkan nama baik bagi tuan rumahnya.
Menetapkan China sebagai tuan rumah tentu dengan pertimbangan bahwa China telah mampu memperbaiki rekor HAMnya yang kelam di masa lampau. Pemilihan China tersebut merupakan kehormatan dan kepercayaan dari masyarakat internasional yang mampu menyaksikan perbaikan pada prestasi domestik kondisi HAM di China selama ini. Tragedi Tibet bisa menjadi kontraproduktif sekaligus bumerang bagi citra diri China di mata internasional.
Kedua, tidak saja bagi China, tekanan internasional merupakan feedback yang harus selalu dipertimbangkan. Peristiwa yang terjadi dimana pun dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat di pelosok dunia akibat majunya teknologi informasi. Memang tidak semua tekanan internasional harus direspon namun tekanan tersebut memberikan input bagi pengambilan keputusan. Jika diabaikan maka China bisa dikucilkan dari pergaulan internasional, seperti yang dialami oleh Myanmar. Tentu hal ini tidak dikehendaki oleh China yang tengah membangun image positif.
Ketiga, aksi kerusuhan yang bersumber dari tuntutan pemisahan diri tidak akan berhenti begitu saja tanpa ada solusi yang diterima semua pihak (win to win solution). Kerusuhan akan terus terjadi secara sporadis di tempat yang berbeda-beda selama pihak penuntut kemerdekaan belum tercapai targetnya. Resolusi konflik terbaik adalah dengan melakukan dialog. Penelitian yang dilakukan oleh Alexis Heraclides (2001) mengenai konflik-konflik separatis di berbagai negara membuktikan, cara terbaik penyelesaian tuntutan pemisahan diri adalah dengan dialog yang melibatkan semua stakeholder konflik.
Keempat, kekerasan yang dibalas dengan kekerasan hanya meninggalkan benih-benih dendam dan kebencian. Pendekatan militer seperti yang dilakukan oleh pemerintah China pada rakyat Tibet hanya melahirkan para pemberontak baru. Tidak ada pendekatan militer yang berhasil menyelesaiakan masalah yang berakar dari ketidakpuasan. Represi demi represi oleh pihak penguasa merupakan tanah subur bagi tumbuhnya dendam baru di kalangan rakyat. Solusi militer harus diganti oleh solusi politik.
Kecaman bertubi-tubi disampaikan pada pemerintah China sehubungan dengan kebrutalan yang dilakukan oleh tentara China dalam aksinya menumpas aksi protes yang terjadi di Lhaksa, Tibet. Aksi protes itu menuntut pemberian kebebasan yang selama ini tidak dirasakan oleh rakyat Tibet. Tibet merupakan salah satu wilayah China yang menuntut pemisahan diri dari China karena Tibet ingin merdeka sebagai negara berdaulat (secessionism).
Wajah asli China
Sejak mengadopsi sistem kapitalisme pada era Deng Xiaoping, China tumbuh menjadi kekuatan dunia yang mengagumkan. China mampu menyaingi AS dan Jepang dalam hal perdagangan dunia dan investasi. Bahkan banyak pihak meramalkan China bahkan bisa mengungguli dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Dalam upaya menjadi yang terdepan tersebut, China menggunakan berbagai taktik. Salah satunya adalah dengan mengubah citra (image) dari negara “tirai bambu” menjadi negara yang ramah dan aksesibel. Perubahan citra ini membawa pengaruh besar pada keberhasilan China. Investor asing tidak lagi ragu-ragu menanamkan modalnya sehingga kegiatan produksi di dalam negeri berjalan dengan dinamis. Hasilnya adalah China yang sukses.
Apakah keberhasilan China di bidang ekonomi diikuti oleh ketentraman rakyatnya di dalam negeri? Berbagai berita sekitar kemunculan China sebagai raksasa dunia seolah-oleh menenggelamkan fakta bahwa China sebenarnya masih menyimpan wajah aslinya yang otoritarian dan cenderung represif terhadap gejolak internal. Sementara itu masyarakat internasional masih sangat sensitif terhadap berbagai kejadian yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Masih segar dalam ingatan bagaimana tentara China memadamkan aksi massa yang digerakkan oleh mahasiswa di lapangan Tiananmen. Pemerintah China mendapat kecaman pedas dari berbagai pelosok dunia karena dinilai melanggar HAM dengan menembaki para demonstran dan membunuhi dengan sadis orang-orang yang terlibat dalam tragedi Tiananmen tersebut. Keberhasilan China di bidang ekonomi belum dibarengi dengan keberhasilannya menghilangkan sikap otoriter. Maka wajah asli China yang selama ini tersembunyikan oleh keberhasilannya merambah pasaran dunia menjadi nampak kembali dengan munculnya tragedi Tibet.
Pelajaran
Tragedi Tiananmen rupanya belum memberikan cukup pelajaran bagi China untuk berlaku lebih manusiawi terhadap rakyatnya sendiri. Tragedi Lhaksa jelas membuktikan bahwa China belum jera dengan kecaman internasional. Tindakan China terhadap para demonstran yang dipelopori oleh rohaniawan di Lhaksa seolah mengulang kesalahan yang telah dilakukan oleh pemerintah Myanmar beberapa waktu lalu.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian tersebut? Pertama, salah satu ancaman paling nyata yang dihadapi China adalah pengusulan pembatalan China sebagai tuan rumah Olimpiade tahun ini, yang hendak dilaksanakan pada bulan Agustus 2008. Dalam rangka menyambut pesta olahraga sejagat tersebut, China sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Berbagai fasilitas telah dibangun dengan biaya milyaran dollar. Jika China tidak segera mengubah skapnya maka tidak menutup kemungkinan Olimpiade 2008 tidak akan meninggalkan nama baik bagi tuan rumahnya.
Menetapkan China sebagai tuan rumah tentu dengan pertimbangan bahwa China telah mampu memperbaiki rekor HAMnya yang kelam di masa lampau. Pemilihan China tersebut merupakan kehormatan dan kepercayaan dari masyarakat internasional yang mampu menyaksikan perbaikan pada prestasi domestik kondisi HAM di China selama ini. Tragedi Tibet bisa menjadi kontraproduktif sekaligus bumerang bagi citra diri China di mata internasional.
Kedua, tidak saja bagi China, tekanan internasional merupakan feedback yang harus selalu dipertimbangkan. Peristiwa yang terjadi dimana pun dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat di pelosok dunia akibat majunya teknologi informasi. Memang tidak semua tekanan internasional harus direspon namun tekanan tersebut memberikan input bagi pengambilan keputusan. Jika diabaikan maka China bisa dikucilkan dari pergaulan internasional, seperti yang dialami oleh Myanmar. Tentu hal ini tidak dikehendaki oleh China yang tengah membangun image positif.
Ketiga, aksi kerusuhan yang bersumber dari tuntutan pemisahan diri tidak akan berhenti begitu saja tanpa ada solusi yang diterima semua pihak (win to win solution). Kerusuhan akan terus terjadi secara sporadis di tempat yang berbeda-beda selama pihak penuntut kemerdekaan belum tercapai targetnya. Resolusi konflik terbaik adalah dengan melakukan dialog. Penelitian yang dilakukan oleh Alexis Heraclides (2001) mengenai konflik-konflik separatis di berbagai negara membuktikan, cara terbaik penyelesaian tuntutan pemisahan diri adalah dengan dialog yang melibatkan semua stakeholder konflik.
Keempat, kekerasan yang dibalas dengan kekerasan hanya meninggalkan benih-benih dendam dan kebencian. Pendekatan militer seperti yang dilakukan oleh pemerintah China pada rakyat Tibet hanya melahirkan para pemberontak baru. Tidak ada pendekatan militer yang berhasil menyelesaiakan masalah yang berakar dari ketidakpuasan. Represi demi represi oleh pihak penguasa merupakan tanah subur bagi tumbuhnya dendam baru di kalangan rakyat. Solusi militer harus diganti oleh solusi politik.
Subscribe to:
Posts (Atom)
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
==
Online Radio
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
at 7:42 AM Posted by The Art of International Relations
0 comments