breaking news:
Attention!
Blog Archives
Wednesday, December 3, 2008
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Once again in the history of
Repressive
One key factors leading to the overthrown of the Prime Minister Thaksin Sinawatra was his inability to handle with problem of secessionism in the southern part of
Southern Thai provinces are predominantly Malay Muslim populations. These provinces are contiguous to the predominantly Muslim states of Kelantan, Trengganu and Kedah in
Despite the HM King Bhumibol Adulyadej’s suggestion to resolve the conflict by political means, Thaksin has done a serious missteps that prompted many to accuse him of challenging the king's authority, a traditional respected leader of the Thais.
Thaksin employed heavy handed measures in resolving secessionist problem that killed thousands of separatist Moslems in three southern Thai provinces namely the three southernmost provinces of Yala, Pattani, and Narathiwat. Thaksin’s approach to quell secessionism has been source of criticism both from within and outside
Many human rights violation broke in southern
According to the intelligence sources, religious leaders from Pattani and Yala had indoctrinated local youths with separatist ideology calling for the establishment of an independent Islamic state. This act put the nation in danger. However, Thaksin played down the political aspect, saying many of the dead were drug-addict teenagers and dismissed religious conflict was the root cause of the southern problem. (The Nation, 24/4/2004)
A
Tlthough admitted that the military coup was a setback to the democratisaton process, many Islamic groups in
To many Thais, the new military regime is seen as a good chance to resolve a bloody Muslim insurgency in the south that has killed more than 1,700 people. Thaksin was seen as a crucial part of worsening the security in the southern
During the Thaksin’s administration, the assimilationist policies went excessively. But Thaksin’s appointment to Gen. Sondhi Bonyaratglin as the Army C in C did not solve the problem. Initially, his appointment was aimed to fix the problem, but they have different view to the resolution. Conflict between them appeared when Sondhi preferred the political solution to the secessionist conflict and reflecting Sondhi’s submission to the King’s suggestion.
However, Lukman B. Lima, the vice president of the Pattani United Liberation Organization (PULO), an exiled in
Yet, the rebels must be aware that Thaksin still have a strong support and his Thai Rak Thai party might get another victory in the next general election. Thaksin won the latest election thanks to the support from the farmers and countrymen. For many people, Thaksin is remain perceived as a symbol of wealth, especially those in eastern part of the country.
The appointment of military-backed prime Minister, Surayud Chulanont, has given a new hope for peaceful settlement. Surayud promised to seek political solution to the problem and to make the issue as his major priority. Despite continuing violence in Narathiwat district, Surayud sent a good gesture by visiting
Surayud spoke about his personal strategy, that, "So, that's the way I will be trying to present ourselves, you know, by way of talking to them. I will explain (the situation) to the Thai people in the south," he said. (Bernama 18/10/2006) Surayud traveled to the region, Mr. Surayud traveled to the region and apologized to its mostly ethnic Malay Muslim inhabitants for the hard-line approach of his predecessor, Thaksin Shinawatra, who was ousted in a September military coup. Mr. Surayud has offered to talk to the insurgents and apologized to its mostly ethnic Malay Muslim inhabitants for the hard-line approach of his predecessor, Thaksin Shinawatra, also offered to talk to the insurgents. (VOA News 21/10/2006)
Surayud also asking help from
Conclusion
Surayud’s approach to the seccesionism issue in southern of
Print this Article
By: Baiq Wardhani & I Gde Wahyu Wicaksana
Krisis politik yang melanda
Konflik Politik
Sejarah politik
Militer melakukan beberapa langkah penting untuk menandai berakhirnya kekuasaan Thaksin, yaitu mencabut darurat sipil dan memberlakukan darurat militer, membatalkan konstitusi 1997, membubarkan kabinet, parlemen dan Mahkamah Agung. Setidaknya ada tiga penyebab kudeta militer kali ini.
Pertama, militer menganggap Thaksin gagal melakukan perbaikan kondisi dalam negeri. Thaksin dituduh sebagai pemecah belah bangsa dan tidak mampu memberantas korupsi, bahkan Thaksin sendiri pun terlibat korupsi. Ternyata Thaksin tidak bisa memenuhi janjinya untuk menjalankan program anti-korupsi sebagai salah satu agenda utama pemerintahnnya. Dia terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, penggelapan pajak, dan membeli suara saat pemilu. Thaksin sendiri bahkan pernah diajukan ke pengadilan gara-gara masalah cronyism dan korupsi. Bahkan akhir-akhir ini diketahui bahwa penjualan saham The Shin Corp milik keluarga Thaksin pun dibebaskan dari pajak penjualan sehingga mendatangkan keuntungan 1,9 milyar dollar bagi keluarganya.
Kedua, kembalinya Thaksin ke tampuk pemerintahan setelah sempat mundur beberapa hari, bukan dianggap oleh kalangan militer sebagai langkah tepat mengatasi berbagai kemelut yang sedang melanda
Ketiga, sifat pretorian militer
Dengan partai barunya yang bernama Thai Rak Thai (berarti: Thai Cinta Thai) dibentuknya dengan beberapa tokoh, Thaksin terkenal dengan ambisinya untuk menciptakan
Kegagalan Demokratisasi?
Salah satu indikator berlangsungnya proses demokratisasi adalah kembalinya militer ke barak dan meninggalkan peran politiknya. Supremasi sipil atas militer adalah formula yang didengung-dengungkan bagi terciptanya iklim demokratisasi. Proses demokratisasi saat ini sedang berlangsung di Asia Tenggara. Rejim-rejim otoriter seperti junta militer di
Menariknya, fenomena yang terjadi di
Sekalipun demikian proses demokratisasi yang bertumpu pada supremasi sipil tetaplah rawan. Di Asia Tenggara, khususnya
Supremasi sipil menghadapi tantangan yang besar bila militer di Asia Tenggara selalu berorientasi ke dalam negeri dan kurang mendapat peranan eksternal yang sebenarnya merupakan domain mereka. Ketiadaan “musuh” dari luar mendorong militer untuk bermain di dalam negeri. Diperlukan transformasi doktrin pertahanan agar bisa mengakomodasi kebutuhan terkini bagi peran militer agar demokratisasi terselamatkan.
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Tiga Alasan
Sekalipun sudah diduga sebelumnya, munculnya kembali militer dalam politik adalah kejadian yang mengejutkan. Hal ini didasarkan pada pernyataan militer Thailand sendiri yang bersedia untuk menjadi profesional dan tidak mencampuri urusan para politisi. Namun kejadian terakhir menunjukkan bahwa militer Thailand tidak dapat memenhuhi janjinya. Terdapat sedikitnya tiga alasan mengapa kudeta militer terjadi kali ini.
Alasan pertama adalah adanya restu raja. Kudeta itu dipimpin oleh Jendral Sonthi Boonyaratglin, Panglima AD dan muslim pertama yang menduduki jabatan tertinggi dalam jajaran militer. Pendudukan kantor Perdana Menteri oleh pasukan Jendral Boonyaratglin merupakan simbol restu Raja Bhumibol Adulyadej atas tindakan militer. Hal ini sekaligus mengungkapkan ketidaksukaan Raja pada PM Thaksin Shinawatra. Selama ini Raja Thai merupakan simbol penghormatan rakyat Thai sekaligus sosok yang sangat kharismatik. Keputusan apapun yang diambil oleh para politisi dan militer tidak akan berjalan jika raja tidak merestui. Demikian pula kudeta ke 24 ini tidak mungkin terjadi jika Raja tidak menghendaki.
Faktor lain adalah keinginan militer untuk memulihkan stabilitas dan mengakhiri krisis politik yang sudah berjalan kurang lebih 9-10 bulan terakhir. Konflik politik tersebut dipicu oleh berbagai tindakan dan keputusan PM Thaksin yang kontroversial dan secara laten dapat menimbulkan krisis politik yang berkepanjangan. Tampilnya kembali Thaksin menjadi perdana menteri setelah meletakkan jabatan beberapa hari sebelumnya merupakan blunder yang memperuncing pertikaian politik. Kembalinya Thaksin itu dikecam berbagai pihak terutama kubu oposisi dan militer karena sikap Thaksin yang dinilai tidak nasionalis dan arogan.
Thaksin pun dianggap tidak nasionalis karena tindakannya menjual beberapa aset nasional penting kepada pihak asing, seperti perusahaan telekomunikasi miliknya sendiri, The Shin Corp kepada Singapura. Hal ini sangat bertentangan dengan filosofi partai yang didirikannya, Thai Rak Thai, yang berarti ‘Thai Cinta Thai’. Apalagi kemudian diketahui bahwa Thaksin ternyata bukan orang ‘bersih’ karena terlibat skandal korupsi dan money politics dalam upayanya memenangkan kursi perdana menteri.
Terakhir, pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer itu adalah demi menyelamatkan negara dari perpecahan. Penunjukan Jendral Boonyaratglin oleh Thaksin adalah dalam upaya meredakan ketegangan yang terjadi di Thailand Selatan. Wilayah yang didominasi oleh kaum Muslim ini sudah lama ingin memerdekakan diri dari Thailand. Langkah kontroversial yang dikeluarkan Thaksin adalah keputusannya terhadap para separatis di Pattani, Yala dan Narathiwat, propinsi di bagian selatan Thailand. Dalam upaya menyelesaikan konflik tersebut, Raja Thailand menghimbau pemerintah untuk melakukan pendekatan kesejahteraan pada mereka. Namun sebaliknya Thaksin justru memberlakukan darurat militer sejak 5 Januari 2004. Jendral Boonyaratglin pun berselisih paham dengan Thaksin karena pemimpin militer ini lebih memilih pendekatan politik daripada kekerasan. Akibatnya, konflik pemerintah dengan militer pun tak terhindarkan. Jika militer tidak segera mengambil langkah tegas, bukan tidak mungkin terjadi disintegrasi di Thailand.
Reaksi Internasional
Sekalipun terdapat upaya reformasi di tubuh militer untuk menjadi lebih profesional, godaan untuk kembali melakukan intervensi politik selalu terbuka. Kondisi sosial-politik ekonomi yang rawan di beberapa negara Asia Tenggara dapat sewaktu-waktu mendorong militer untuk bertindak. Ketidakmampuan politisi sipil menguasai kondisi kacau di dalam negeri merupakan ladang subur bagi tumbuhnya otoritarianisme yang akan mengikis langkah-langkah demokratisasi. Kudeta militer di Thailand merupakan pelajaran sangat berharga bagi setiap pemimpin sipil negara yang dihadapkan pada berbagai masalah pelik.
Bagaimanakah reaksi internasional atas kejadian ini? Sudah dapat diduga bahwa dunia memberi rekasi negatif. Reaksi keras datang dari Sekjen PBB, Kofi Anan, yang pada saat kudeta berlangsung, PM Thaksin sedang berada di New York guna menghadiri Sidang Umum PBB.
Pada umumnya reaksi dunia menyayangkan meredupnya semangat demokratisasi di Thailand. Kudeta militer adalah tindakan inkonstitusional yang menodai perjuangan global penegakan nilai-nilai demokratisasi. Kudeta militer ini dikhawatirkan dapat menyebarkan virus di kalangan beberapa negara di Asia Tenggara.
Dalam kaitannya dengan ASEAN, organisasi regional ini dengan susah payah berupaya untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan elemen penting bagi terwujudnya misi ASEAN sebagai salah satu anggota komunitas internasional. Pemerintah sipil di beberapa negara ASEAN tidak ingin melihat langkah undur perkembangan demokratisasi. Beberapa negara di kawasan ini sangat rentan terhadap gejala kudeta militer, seperti Indonesia dan Filipina.
Adalah tantangan bagi pemerintah militer Thailand untuk merespon reaksi internasional yang menuntut pengembalian kekuasaan kembali ke tangan sipil. Jika tidak, perkembangan di Thailand dikhawatirkan membawa dampak negatif bagi hubungan politik dan kerjasama serta stabilitas ASEAN.
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Pendahuluan
Sejarah politik
Sekalipun sudah diduga sebelumnya, munculnya kembali militer dalam politik adalah kejadian yang mengejutkan. Hal ini didasarkan pada pernyataan militer
Krisis politik yang melanda
Militer melakukan beberapa langkah penting untuk menandai berakhirnya kekuasaan Thaksin, yaitu mencabut darurat sipil dan memberlakukan darurat militer, membatalkan konstitusi 1997, membubarkan kabinet, parlemen dan Mahkamah Agung.
Tulisan ini mecermati penyebab kudeta tersebut serta dampaknya bagi proses demokratisasi Asia Tenggara.
Penyebab Kudeta
Alasan pertama adalah adanya restu raja. Kudeta itu dipimpin oleh Jendral Sonthi Boonyaratglin, Panglima AD dan muslim pertama yang menduduki jabatan tertinggi dalam jajaran militer. Pendudukan kantor Perdana Menteri oleh pasukan Jendral Boonyaratglin merupakan simbol restu Raja Bhumibol Adulyadej atas tindakan militer. Hal ini sekaligus mengungkapkan ketidaksukaan Raja pada PM Thaksin Shinawatra. Selama ini Raja Thai merupakan simbol penghormatan rakyat Thai sekaligus sosok yang sangat kharismatik. Keputusan apapun yang diambil oleh para politisi dan militer tidak akan berjalan jika raja tidak merestui. Demikian pula kudeta ke 24 ini tidak mungkin terjadi jika Raja tidak menghendaki.
Kedua, adalah keinginan militer untuk memulihkan stabilitas dan mengakhiri krisis politik yang sudah berjalan kurang lebih 9-10 bulan terakhir sejak awal 2006. Konflik politik tersebut dipicu oleh berbagai tindakan dan keputusan PM Thaksin yang kontroversial dan secara laten dapat menimbulkan krisis politik yang berkepanjangan. Tampilnya kembali Thaksin menjadi perdana menteri setelah meletakkan jabatan beberapa hari sebelumnya merupakan blunder yang memperuncing pertikaian politik. Kembalinya Thaksin itu dikecam berbagai pihak terutama kubu oposisi dan militer karena sikap Thaksin yang dinilai tidak nasionalis dan arogan. Sejarah politik
Thaksin pun dianggap tidak nasionalis karena tindakannya menjual beberapa aset nasional penting kepada pihak asing, seperti perusahaan telekomunikasi miliknya sendiri, The Shin Corp kepada Singapura. Hal ini sangat bertentangan dengan filosofi partai yang didirikannya, Thai Rak Thai, yang berarti ‘Thai Cinta Thai’. Apalagi kemudian diketahui bahwa Thaksin ternyata bukan orang ‘bersih’ karena terlibat skandal korupsi dan money politics dalam upayanya memenangkan kursi perdana menteri.
Ketiga, pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer itu adalah demi menyelamatkan negara dari perpecahan. Penunjukan Jendral Boonyaratglin oleh Thaksin adalah dalam upaya meredakan ketegangan yang terjadi di Thailand Selatan. Wilayah yang didominasi oleh kaum Muslim ini sudah lama ingin memerdekakan diri dari
Keempat, militer menganggap Thaksin gagal melakukan perbaikan kondisi dalam negeri. Thaksin dituduh sebagai pemecah belah bangsa dan tidak mampu memberantas korupsi, bahkan Thaksin sendiri pun terlibat korupsi. Ternyata Thaksin tidak bisa memenuhi janjinya untuk menjalankan program anti-korupsi sebagai salah satu agenda utama pemerintahnnya. Dia terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, penggelapan pajak, dan membeli suara saat pemilu. Thaksin sendiri bahkan pernah diajukan ke pengadilan gara-gara masalah cronyism dan korupsi. Bahkan akhir-akhir ini diketahui bahwa penjualan saham The Shin Corp milik keluarga Thaksin pun dibebaskan dari pajak penjualan sehingga mendatangkan keuntungan 1,9 milyar dollar bagi keluarganya.
Terakhir, sifat pretorian militer
Dengan partai barunya yang bernama Thai Rak Thai (berarti: Thai Cinta Thai) dibentuknya dengan beberapa tokoh, Thaksin terkenal dengan ambisinya untuk menciptakan
Mundurnya Demokratisasi?
Salah satu indikator berlangsungnya proses demokratisasi adalah kembalinya militer ke barak dan meninggalkan peran politiknya. Supremasi sipil atas militer adalah formula yang didengung-dengungkan bagi terciptanya iklim demokratisasi. Proses demokratisasi saat ini sedang berlangsung di Asia Tenggara. Rejim-rejim otoriter seperti junta militer di
Menariknya, fenomena yang terjadi di
Sekalipun demikian proses demokratisasi yang bertumpu pada supremasi sipil tetaplah rawan. Di Asia Tenggara, khususnya
Supremasi sipil menghadapi tantangan yang besar bila militer di Asia Tenggara selalu berorientasi ke dalam negeri dan kurang mendapat peranan eksternal yang sebenarnya merupakan domain mereka. Ketiadaan “musuh” dari luar mendorong militer untuk bermain di dalam negeri. Diperlukan transformasi doktrin pertahanan agar bisa mengakomodasi kebutuhan terkini bagi peran militer agar demokratisasi terselamatkan.
Sekalipun terdapat upaya reformasi di tubuh militer untuk menjadi lebih profesional, godaan untuk kembali melakukan intervensi politik selalu terbuka. Kondisi sosial-politik ekonomi yang rawan di beberapa negara Asia Tenggara dapat sewaktu-waktu mendorong militer untuk bertindak. Ketidakmampuan politisi sipil menguasai kondisi kacau di dalam negeri merupakan ladang subur bagi tumbuhnya otoritarianisme yang akan mengikis langkah-langkah demokratisasi. Kudeta militer di
Bagaimanakah reaksi internasional atas kejadian ini? Sudah dapat diduga bahwa dunia memberi reaksi negatif. Reaksi keras datang dari Sekjen PBB, Kofi Anan, yang pada saat kudeta berlangsung, PM Thaksin sedang berada di
Pada umumnya reaksi dunia menyayangkan meredupnya semangat demokratisasi di
Dalam kaitannya dengan ASEAN, organisasi regional ini dengan susah payah berupaya untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan elemen penting bagi terwujudnya misi ASEAN sebagai salah satu anggota komunitas internasional. Pemerintah sipil di beberapa negara ASEAN tidak ingin melihat langkah undur perkembangan demokratisasi. Beberapa negara di kawasan ini sangat rentan terhadap gejala kudeta militer, seperti
Adalah tantangan bagi pemerintah militer
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Rakyat Timor Leste (TL) belum bisa merasakan kedamaian. Hari demi hari dilalui dengan berbagai macam konflik, baik itu konflik dengan pihak
Setelah insiden desersi tentara pertengahan Maret lalu, pemerintah pimpinan presiden Xanana Gusmao ternyata belum mampu menangani keadaan. Situasi bukannya menjadi lebih damai tetapi sebaliknya menjadi runyam, bahkan Dili menjadi ladang pembantaian (Jawa Pos 26/05/06). Situasi ini sama mengerikannya ketika terjadi ‘perang saudara’ di wilayah ini ketika tentara Fretilin berperang melawan ABRI pada masa itu.
Perang saudara mau tidak mau membawa dampak bagi kawasan sekitarnya, terutama bagi negara tetangga terdekat yang berbatasan darat. Demikian pula yang terjadi di TL pasti memberi pengaruh pada
Difusi
Secara teroritik, konflik di negara tetanga sangat berpotensi merembet ke negara tetangganya. Terdapat dua macam perembetan, yaitu difusi dan ekskalasi. Difusi terjadi bilamana konflik di suatu negara ‘menularkan’ konflik di negara tetangganya, baik dalam bentuk konflik fisik (tembak menembak, pembunuhan, dsb), maupun konflik ekonomi (perebutan sumber-sumber makanan dan uang), maupun budaya (benturan kultur). Konflik itu dapat menyebabkan
Terjadinya kerusuhan di TL perlu diwaspadai dalam konteks difusi konflik. Walaupun pemerintah RI sudah menutup perbatasan RI-TL, tidak menutup kemungkinan terjadinya penyelundupan orang dari wilayah konflik ke wilayah damai dengan berbagai cara karena praktis NTT adalah wilayah yang dianggap paling mudah dijangkau oleh pengungsi dan secara psikis (karena faktor sejarah) dianggap mampu memberi rasa aman yang selama ini mereka dambakan. Jika tidak diwaspadai para pengungsi dapat merupakan agen yang mampu memicu terjadinya difusi konflik.
Ekskalasi
Sementara itu, konflik di TL dapat mengalami intensitas (disebut dengan ekskalasi konflik). Ekskalasi terjadi bila konflik di TL melibatkan unsur asing (eksternal) yang secara rill maupun potensial, disengaja atau tidak, melakukan intervensi dalam konflik tersebut. Ini sudah terjadi di TL dengan hadirnya pasukan undangan dari
Adalah paradoks bahwa suatu negara harus mengundang campur tangan asing dalam memecahkan masalah internalnya yang paling mendasar sekalipun. Apabila suatu negara tidak mampu mempertahankan kedaulatan teritorialnya sendiri maka perlu dipertanyakan bagaimanakah masa depan negara tersebut. Seharusnya suatu bangsa belajar untuk mengatasi masalahnya sendiri, apalagi hal itu menyangkut pertikaian internal, karena hal itu merupakan bagian dari proses bernegara.
Sementara itu intervensi tentara asing itu, walau dimaksudkan untuk menyelesaikan konflik tidak menutup kemungkinan justru melahirkan konflik-konflik potensial baru. Walaupun pasukan asing itu diharapkan netral, tidak ada jaminan hal tersebut terjadi. Belajar dari berbagai kasus intervensi inernasional, selalu ada kecenderungan keberpihakan dan kecurigaan atas netralitas keterlibatan unsur asing dalam menangani konflik internal.
Yang tidak kita harapkan adalah apabila kehadiran tentara asing di TL menimbulkan masalah baru bagi
Print this Article
By: Baiq Wardhani
Mengapa
Trauma diplomatic
Orang tentu belum lupa akan berpisahnya Timor Timur (Timtim) dari RI. Orang tentu tidak lupa pula bahwa
Dari perspektif nasionalis, akibat trauma itu, wajar jika kita melayangkan protes kepada
Tindakan
Dimensi internasional
Mengapa
Gugatan rakyat Papua akan statusnya dalam NKRI menarik berbagai kalangan luar untuk terus mempermasalahkan propinsi yang sedang dirundung
Lalu bagaimanakah kira-kira kelanjutan hubungan RI dengan
at 9:59 AM Posted by The Art of International Relations
0 comments